This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label contoh pembredelan media mssa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label contoh pembredelan media mssa. Tampilkan semua postingan

Senin, 20 Februari 2012

contoh pembredelan media mssa

1. Sumber Imajiner Sumber berita dalam liputan pers harus jelas dan tidak boleh fiktif. Satu harian di Medan melaporkan bahwa dalam suatu kasus dugaan korupsi di Partai Golkar Sumatera Utara, Kepolisian Daerah Sumut telah mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3). Menurut harian ini, sumber berita adalah Komisaris Besar A. Nainggolan dari Hubungan Masyarakat Polda Sumut yang diumumkan dalam sebuah konferensi pers. Ternyata pertemuan itu tidak pernah ada. Begitu pula petugas humas yang dimaksud itu juga tidak pernah mengeluarkan pernyataan seperti itu. Dengan kata lain, sumber beritanya fiktif. Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang dilakukan oleh wartawan harian ini karena telah membuat berita dengan sumber imajiner alias tidak ada atau fiktif. 2. Identitas dan Foto Korban Susila Anak-Anak Dimuat Sesuai dengan asas moralitas, menurut Kode Etik Jurnalistik, masa depan anak-anak harus dilindungi. Oleh karena itu, jika ada anak di bawah umur, baik sebagai pelaku maupun korban kejahatan kesusilaan, identitasnya harus dilindungi. Masih di Medan, satu harian lainnya menemukan adanya pencabulan atau pelecehan seksual oleh seorang pejabat setempat terhadap seorang anak di bawah umur. Koran ini sampai tiga kali berturut-turut menurunkan berita tersebut. Di judul berita pun nama korban susila di bawah umur itu disebut dengan jelas. Tidak hanya itu. Selain memuat identitas berupa nama korban, foto korban pun terpampang dengan jelas dan menonjol karena ingin membuktikan bahwa kejadian itu memang benar. Pemuatan nama dan pemasangan foto korban susila di bawah umur inilah yang melanggar Kode Etik Jurnalistik. 3. Membocorkan Identitas Narasumber Dalam kasus tertentu wartawan mempunyai Hak Tolak, yakni hak untuk tidak mengungkapkan identitas narasumber. Hak ini dipakai karena pada satu sisi pers membutuhkan informasi dari narasumber yang ada, tetapi pada sisi lain keselamatan narasumber (dan juga mungkin keluarganya) dapat terancam kalau informasi itu disiarkan. Untuk menghadapi keadaan seperti itulah maka kemudian ada Hak Tolak. Pers dapat meminta informasi dari narasumber, tetapi narasumber dapat pula meminta kepada wartawan agar identitasnya tidak disebutkan. Kalau ada yang menanyakan sumber informasi ini, pers berhak menolak menyebutkannya. Inilah yang dimaksud dengan Hak Tolak. Sekali pers memakai Hak Tolak, maka pers wajib untuk terus melindungi indentitas narasumbernya. Dalam keadaan ini seluruh tanggung jawab terhadap isi informasi beralih kepada pers. Pers yang membocorkan identitas narasumber yang dilindungi Hak Tolak melanggar hukum dan kode etik sekaligus. Tetapi, dalam praktik, karena takut akan ancaman atau tidak mengerti makna kerahasiaan di balik Hak Tolak, masih ada terbitan yang membocorkan identitas narasumber yang seharusnya dirahasiakan, baik yang dilakukan secara terbuka maupun secara diam-diam. 4. Sumber Berita Tidak Jelas Dalam liputan pers, sumber berita harus jelas. Ketika pesawat Adam Air jatuh di laut Majene, Sulawesi Barat, pada Januari 2007, hampir semua pers melakukan kesalahan fatal. Hanya beberapa jam setelah pesawat itu jatuh, sebagian besar pers mewartakan bahwa pesawat tersebut jatuh di daerah tertentu. Tak hanya itu, ada pula pers yang langsung memberitakan bahwa rangka pesawat telah ditemukan. Lebih dahsyat lagi sampai ada yang memberitakan bahwa “sembilan korban ditemukan masih hidup.” Ini luar biasa. Kenapa? Karena setelah setahun peristiwa itu terjadi, ternyata semua berita tentang di mana jatuhnya pesawat itu dan jumlah korban yang hidup sama sekali tidak benar. Di mana pesawat jatuh pun tidak diketahui. Nasib korban juga tidak diketahui. Tetapi, saat itu ada pers yang sampai berani mengatakan bahwa “para korban sedang dievakuasi.” Black box pesawat ini baru ditemukan setahun kemudian di bawah kedalaman 2.000 meter laut. Itu pun setelah ada pencarian khusus dengan bantuan Amerika Serikat. Pelanggaran kode etik yang dilakukan di sini adalah karena pers yang memberitakan kasus ini tidak mengecek lebih dahulu dari mana asal usul sumber berita itu. Ketika dimintai konfirmasinya, dari mana sumber berita itu–yang mempunyai data yang keliru, ternyata sumber berita tersebut imajiner alias tidak jelas. Pelanggaran kedua, tidak pernah ada permintaan maaf dari pers terhadap peristiwa ini. Padahal, menurut Kode Etik Jurnalistik, apabila pers mengetahui bahwa berita yang disiarkannya keliru, maka mereka harus segera meralat dan meminta maaf. 5. Wawancara Fiktif Untuk mengejar eksklusivitas, ada wartawan yang akhirnya melakukan kesalahan fatal. Untuk membuktikan kehebatannya, sebagian wartawan sampai menipu masyarakat dengan wawancara yang sebenarnya tidak pernah ada alias fiktif. Satu harian di Jakarta memuat wawancara dengan seorang tokoh dalam bentuk tanya jawab yang cukup panjang. Setelah dimuat, barulah diketahui bahwa narasumber wawancara itu sebenarnya sudah meninggal dua tahun sebelum laporan ini disiarkan. Dengan kata lain, wawancara tersebut fiktif alias tidak pernah dilakukan dengan narasumber yang sebenarnya. Jelas ini merupakan pelanggaran berat terhadap Kode Etik Jurnalistik karena melakukan pemberitaan bohong. Tetapi, harian tersebut tidak pernah meminta maaf.

Minggu, 12 Februari 2012

PEMBREDELAN MEDIA MASSA YANG MELANGGAR PENYALAHGUNAAN PERS

Kasus Prachatai dan Ancaman Kebebasan Pers di Indonesia
Diposting oleh Marto pada Feb 9, '11 12:51 AM untuk semuanya
Pada tanggal 4 Pebruari 2011, saya meliput salah satu sidang dari rangkaian persidangan kasus 'Prachatai Vs Raja'. Prachatai adalah harian online independen yang tengah menandang tuduhan menghina kerajaan melalui berbagai pasal jeratan. Ruang sidang ini mengingatkan saya pada peristiwa persidangan tiga aktivis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat enambelas tahun silam, hanya saja ada perbedaan yang bersuasana jurnalistik, di dalam ruang pengadilan di Bangkok ini hadirin tak diijinkan membawa alat perekam. Sambil mendengarkan penuturan penerjemah bebas, saya mulai mengguratkan pena pada kertas kosong, menggambar suasana persidangan.





Adalah Chiranuch Premchaiporn, Direktur Eksekutif dan salah satu pendiri Prachatai, menjadi orang pertama yang dianggap paling bertanggungjawab atas forum online "Pro-demokrasi dan Anti-Kediktatoran" di dalam Prachatai. Melalui forum yang dimoderasinya ini, pembaca Prachatai mendiskusikan, menyatakan pendapat, dan pikiran mereka dengan bebas. Kebebasan adalah ruh Prachatai, yang memang frasaitu berarti "Orang Bebas".


Prachatai didirikan pada Juni 2004 oleh sekelompok warga Thailand yang memiliki kepedulian akan kebebasan dan demokrasi, anggota senior Dewan Pers Thailand, seorang dosen terkenal di bidang Jurnalisme, sejumlah wartawan senior, dan sejumlah pemimpin LSM termasuk Chiranuch Premchaiporn di dalamnya, juga dua anggota Senat Thailand, yang salah satunya adalah Jon Ungpakorn, seorang penganjur hak asasi manusia yang memenangi Magsaysay Award. Prachatai hadir sebagai respon terhadap periode pembredelan media arus utama di bawah pemerintahan PM Thaksin Shinawatra. Prachatai menjajikan berita yang dapat diandalkan bagi masyarakat selama era peredaman kebebasan media di Thailand. Media ini terus memainkan peran penting setelah kudeta militer pada bulan September 2006 hingga periode berlakunya keadaan darurat sehubungan dengan situasi politik dalam negeri Thailand. Keadaan darurat dikenakan pada banyak provinsi termasuk Bangkok sampai dicabut pada akhir 2010. Tabiat penguasa selalu sama dalam kecenderungan menundukkan kebebasan. Hal ini menyesakkan dan memiliki akibat buruk terhadap hak kebebasan untuk berekspresi, khususnya bagi media semacam Prachatai yang teguh menggenggam elan kebebasan.


Maka bukan sesuatu yang mengejutkan ketika pada tanggal 6 Maret 2009, tiga mobil berisi lebih dari sepuluh polisi menggerebeg kantor Prachatai. Berbekal surat perintah pencarian dan surat perintah penangkapan, para petugas menangkapChiranuch. Tuntutan yang dibacakan adalah pelanggaran Ayat 15 Computer-Related Crime Act (CCA). Dikarenakan sebuah topik forum berisi fitnah terhadap monarki yang diposting oleh anggota forum pada tanggal 15 Oktober 2008. Dia membantah semua tuduhan, namun para petugas menyita laptopnya sebagai barang bukti. Tak sampai dua tahun, pada tanggal 24 September 2010, sekembali dari menghadiri konferensi "Internet at Liberty 2010" di Budapest, Hungaria, Chiranuch kembali ditangkap di pos pemeriksaan imigrasi Bandara Internasional Suvarnabhumi, Bangkok.


Dari banyak pasal dalam undang-undang yang mengepung Chiranuch dan kebebasan berekspresi di Thailand, ada dua yang menarik untuk diperbandingkan dengan kebebasan menyatakan pendapat di Indonesia. Pertama adalah Pasal 112 KUHP Thailand yang mendefinisikan seseorang dikatakan melanggar hukum "Lese Majeste Thailand" apabila yang bersangkutan "Memfitnah, menghina, atau mengancam raja dan keluarga kerajaan", dan kedua adalah Ayat 15 CCA yang menyatakan "Sengaja mendukung atau menyetujui tindak kejahatan yang terkait dengan penggunaan komputer".


Pasal 112 KUHP Thailand adalah setara dengan pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP di Indonesia yang berisi delik penghinaan terhadap Kepala Negara. Pasal-pasal tersebut terkenal sebagai 'Haatzaai Artikelen' atau 'Pasal-pasal penabur kebencian'. Berita bagusnya adalah alat pemukul kebebasan berpendapat itu telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK nomor 013-022/PUU-IV/2006, karena bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Berita buruknya terjadi euphoria berpendapat dan 'berberita'. Sejak dihapuskannya Surat Ijin Usaha Penerbitan (SIUP), terjadi ledakan media yang sayangnya tak dibarengi dengan kualitas pemberitaan di dalamnya. Kaidah jurnalisme diabaikan, kalimat menyerang bahkan yang menusuk wilayah keyakinan dan penghinaan kemanusiaan menjadi penyedap agar lakunya dagangan. Taburan kebencian tidak lagi ditujukan kepada penguasa, namun justru menyerang sesama. Keadaan seperti ini akhirnya menemu keliarannya di ruang maya, ruang di mana sesiapapun bebas berbicara atas nama kebebasan tanpa nama, namun tetap dengan bangga menyandang Citizen Journalism. Dan ini sejatinya sebentuk ancaman jurnalistik tersendiri yang rasanya perlu dipikirkan oleh para penggiat pemberitaan.


Ancaman berikutnya yang dapat dipetik dari kasus Prachatai adalah berkenaan dengan CCA. Undang undang yang dibuat tahun 2007 ini berpadan dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Indonesia. UU ITE adalah produk undang-undang yang lebih bersuasana tiran daripada niatan melindungi kebebasan warga negara pengguna internet terlebih penggiat media. Ayat-ayatnya memiliki daya jerat ketat bagi semangat kebebasan berpendapat dan akses informasi. Ambil saja satu contoh Pasal 27 ayat (3) UU ITE;


"Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik".


Ayat ini, dan beberpa ayat lain di dalam UU ITE adalah sebuah harga yang teramat mahal demi keinginan pemerintah membatasi akses pornografi. Tak pelak hal ini juga sebuah ancaman yang sesegera mungkin harus dipikirkan untuk ditinjau kembali.






Kembali ke sidang Prachatai, Chiranuch Premchaiporn akan terpidana 50 tahun penjara apabila tuntutan jaksa penuntut umum dipenuhi oleh hakim. Sebuah vonis yang juga bakal menentukan posisi Thailand akan penghormatan terhadap kebebasan media. Tahun 2010, Reporters without Borders mencatat betapa Thailand berada di tempat buruk, urutan 153 dari 178 negara, dan Indonesia 36 poin lebih tinggi, yaitu pada urutan 117. Namun dengan dua jenis ancaman yang ada di atas, rasanya para penggiat media belum layak untuk buru-buru mengambil rehat. Meski begitu, masihlah layak diberi ucapan; "Selamat Hari Pers Nasional!".